KISAH SUFI"Syekh Abdul Qadir Jaelani"

Syekh Abdul
Qadir Jaelani
Sulthanul Auliya
Syekh Abdul Qadir Al-
Jailani Rahimahullah,
(bernama lengkap
Muhyi al Din Abu
Muhammad Abdul
Qadir ibn Abi Shalih
Al-Jailani ). Lahir di Jailan
atau Kailan tahun 470
H/1077 M kota Baghdad
sehingga di akhir nama
beliau ditambahkan
kata al Jailani atau al
Kailani. Biografi beliau
dimuat dalam Kitab
الذيل على طبق
الحنابلة Adz Dzail
‘Ala Thabaqil Hanabilah
I/301-390, nomor 134,
karya Imam Ibnu Rajab
al Hambali.
Kelahiran,
Silsilah dan
Nasab
Ada dua riwayat
sehubungan dengan
tanggal kelahiran al-
Ghauts al_A’zham Syekh
Abdul Qodir al-Jilani.
Riwayat pertama yaitu
bahwa ia lahir pada 1
Ramadhan 470 H.
Riwayat kedua
menyatakan Ia lahir
pada 2 Ramadhan 470 H.
Tampaknya riwayat
kedua lebih dipercaya
oleh ulama[1]. Silsilah
Syekh Abdul Qodir
bersumber dari Khalifah
Sayyid Ali al-Murtadha
r.a ,melalui ayahnya
sepanjang 14 generasi
dan melaui ibunya
sepanjang 12 generasi.
Syekh Sayyid
Abdurrahman Jami rah.a
memberikan komentar
mengenai asal usul al-
Ghauts al-A’zham r.a
sebagi berikut : “Ia
adalah seorang Sultan
yang agung, yang
dikenal sebagial-Ghauts
al-A’zham. Ia mendapat
gelar sayyid dari silsilah
kedua orang tuanya,
Hasani dari sang ayah
dan Husaini dari sang
ibu”[1]. Silsilah
Keluarganya adalah
Sebagai berikut : Dari
Ayahnya(Hasani)[1]:
Syeh Abdul Qodir bin
Abu Samih Musa bin
Abu Abdillah bin Yahya
az-Zahid bin Muhammad
bin Dawud bin Musa
Tsani Abdullah Tsani bin
Musa al-Jaun Abdul
Mahdhi bin Hasan al-
Mutsanna bin Hasan as-
Sibthi bin Ali bin Abi
Thalib, Suami Fatimah
Az-Zahra binti
Rasulullah SAW
Dari ibunya(Husaini)[1] :
Syeh Abdul Qodir bin
Ummul Khair Fathimah
binti Abdullah Sum’i bin
Abu Jamal bin
Muhammad bin Mahmud
bin Abul ‘Atha Abdullah
bin Kamaluddin Isa bin
Abu Ala’uddin bin Ali
Ridha bin Musa al-
Kazhim bin Ja’far al-
Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Zainal ‘Abidin
bin Husain bin Ali bin Abi
Thalib, Suami Fatimah
Az-Zahra binti
Rasulullah SAW
Masa Muda
Dalam usia 8 tahun ia
sudah meninggalkan
Jilan menuju Baghdad
pada tahun 488 H/ 1095
M. Karena tidak diterima
belajar di Madrasah
Nizhamiyah Baghdad,
yang waktu itu dipimpin
Ahmad al Ghazali, yang
menggantikan
saudaranya Abu Hamid
al Ghazali. Di Baghdad
beliau belajar kepada
beberapa orang ulama
seperti Ibnu Aqil, Abul
Khatthat, Abul Husein
al Farra ’ dan juga
Abu Sa’ad al
Muharrimi. Belaiu
menimba ilmu pada
ulama-ulama tersebut
hingga mampu
menguasai ilmu-ilmu
ushul dan juga
perbedaan-perbedaan
pendapat para ulama.
Dengan kemampuan itu,
Abu Sa ’ad al Mukharrimi
yang membangun
sekolah kecil-kecilan di
daerah Babul Azaj
menyerahkan
pengelolaan sekolah itu
sepenuhnya kepada
Syeikh Abdul Qadir al
Jailani. Ia mengelola
sekolah ini dengan
sungguh-sungguh.
Bermukim di sana
sambil memberikan
nasehat kepada orang-
orang di sekitar sekolah
tersebut. Banyak orang
yang bertaubat setelah
mendengar nasehat
beliau. Banyak pula
orang yang bersimpati
kepada beliau, lalu
datang menimba ilmu di
sekolah beliau hingga
sekolah itu tidak
mampu menampung
lagi.
Murid-Murid
Murid-murid beliau
banyak yang menjadi
ulama terkenal, seperti
al Hafidz Abdul Ghani
yang menyusun kitab
Umdatul Ahkam Fi
Kalami Khairil Anam,
Syeikh Qudamah,
penyusun kitab fiqh
terkenal al Mughni.
Perkataan
Ulama tentang
Beliau
Syeikh Ibnu Qudamah
sempat tinggal
bersama beliau selama
satu bulan sembilan
hari. Kesempatan ini
digunakan untuk belajar
kepada Syeikh Abdul
Qadir al Jailani sampai
beliau meninggal dunia.
(Siyar A ’lamin Nubala
XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah
ketika ditanya tentang
Syeikh Abdul Qadir
menjawab, ”Kami
sempat berjumpa
dengan beliau di akhir
masa kehidupannya. Ia
menempatkan kami di
sekolahnya. Ia sangat
perhatian terhadap
kami. Kadang beliau
mengutus putra beliau
yang bernama Yahya
untuk menyalakan
lampu buat kami. Ia
senantiasa menjadi
imam dalam salat
fardhu.”
Beliau adalah seorang
yang berilmu, ber aqidah
Ahlu Sunnah, dan
mengikuti jalan Salaf al
Shalih. Belaiau dikenal
pula banyak memiliki
karamah. Tetapi,
banyak (pula) orang
yang membuat-buat
kedustaan atas nama
beliau. Kedustaan itu
baik berupa kisah-kisah,
perkataan-perkataan,
ajaran-ajaran, tariqah
(tarekat/jalan) yang
berbeda dengan jalan
Rasulullah, para
sahabatnya, dan
lainnya. Di antaranya
dapat diketahui dari
pendapat Imam Ibnu
Rajab.
Tentang
Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir al
Jailani adalah seorang
yang diagungkan pada
masanya. Diagungkan
oleh para syeikh, ulama,
dan ahli zuhud. Ia
banyak memiliki
keutamaan dan
karamah. Tetapi, ada
seorang yang bernama
al Muqri ’ Abul Hasan asy
Syathnufi al Mishri
(nama lengkapnya
adalah Ali Ibnu Yusuf bin
Jarir al Lakhmi asy
Syathnufi) yang
mengumpulkan kisah-
kisah dan keutamaan-
keutamaan Syeikh
Abdul Qadir al Jailani
dalam tiga jilid kitab. Al
Muqri’ lahir di Kairo tahun
640 H, meninggal tahun
713 H. Dia dituduh
berdusta dan tidak
bertemu dengan Syeikh
Abdul Qadir al Jailani. Dia
telah menulis perkara-
perkara yang aneh dan
besar (kebohongannya).
“Cukuplah seorang itu
berdusta, jika dia
menceritakan yang dia
dengar”, demikian kata
Imam Ibnu Rajab. “Aku
telah melihat sebagian
kitab ini, tetapi hatiku
tidak tentram untuk
berpegang dengannya,
sehingga aku tidak
meriwayatkan apa yang
ada di dalamnya. Kecuali
kisah-kisah yang telah
masyhur dan terkenal
dari selain kitab ini.
Karena kitab ini banyak
berisi riwayat dari
orang-orang yang tidak
dikenal. Juga terdapat
perkara-perkara yang
jauh dari agama dan
akal, kesesatan-
kesesatan, dakwaan-
dakwaan dan perkataan
yang batil tidak
berbatas, seperti kisah
Syeikh Abdul Qadir
menghidupkan ayam
yang telah mati, dan
sebagainya. Semua itu
tidak pantas
dinisbatkan kepada
Syeikh Abdul Qadir al
Jailani rahimahullah.”
Kemudian didapatkan
pula bahwa al Kamal
Ja ’far al Adfwi (nama
lengkapnya Ja’far bin
Tsa’lab bin Ja’far bin Ali
bin Muthahhar bin
Naufal al Adfawi),
seorang ulama
bermadzhab Syafi’i. Ia
dilahirkan pada
pertengahan bulan
Sya ’ban tahun 685 H
dan wafat tahun 748 H
di Kairo. Biografi beliau
dimuat oleh al Hafidz di
dalam kitab Ad Durarul
Kaminah, biografi nomor
1452. al Kamal
menyebutkan bahwa
asy Syathnufi sendiri
tertuduh berdusta atas
kisah-kisah yang
diriwayatkannya dalam
kitab ini.(Dinukil dari
kitab At Tashawwuf Fii
Mizanil Bahtsi Wat
Tahqiq, hal. 509, karya
Syeikh Abdul Qadir bin
Habibullah as Sindi,
Penerbit Darul Manar,
Cet. II, 8 Dzulqa’dah
1415 H / 8 April 1995
M.).
Karya
Imam Ibnu Rajab juga
berkata, ”Syeikh Abdul
Qadir al Jailani
Rahimahullah memiliki
pemahaman yang
bagus dalam masalah
tauhid, sifat-sifat Allah,
takdir, dan ilmu-ilmu
ma’rifat yang sesuai
dengan sunnah.”
Karya karyanya [1] :
1. al Ghunyah Li Thalibi
Thariqil Haq,
2. Futuhul Ghaib.
3. Al-Fath ar-Rabbani
4. Jala’ al-Khawathir
5. Sirr al-Asrar
6. Malfuzhat
7. Khamsata “Asyara
Maktuban
Murid-muridnya
mengumpulkan ihwal
yang berkaitan dengan
nasehat dari majelis-
majelis beliau. Dalam
masalah-masalah sifat,
takdir dan lainnya, ia
berpegang dengan
sunnah. Ia membantah
dengan keras terhadap
orang-orang yang
menyelisihi sunnah.
Ajaran-ajaranya
Sam’ani berkata, ”
Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani adalah penduduk
kota Jailan. Ia seorang
Imam bermadzhab
Hambali. Menjadi guru
besar madzhab ini pada
masa hidup beliau.”
Imam Adz Dzahabi
menyebutkan biografi
Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani dalam Siyar
A ’lamin Nubala, dan
menukilkan perkataan
Syeikh sebagai
berikut, ”Lebih dari lima
ratus orang masuk
Islam lewat tanganku,
dan lebih dari seratus
ribu orang telah
bertaubat. ”
Imam Adz Dzahabi
menukilkan perkataan-
perkataan dan
perbuatan-perbuatan
Syeikh Abdul Qadir yang
aneh-aneh sehingga
memberikan kesan
seakan-akan beliau
mengetahui hal-hal yang
ghaib. Kemudian
mengakhiri perkataan,
” Intinya Syeikh Abdul
Qadir memiliki
kedudukan yang agung.
Tetapi terdapat ritikan-
kritikan terhadap
sebagian perkataannya
dan Allahmenjanjikan
(ampunan atas
kesalahan-kesalahan
orang beriman ). Namun
sebagian perkataannya
merupakan kedustaan
atas nama
beliau.”( Siyar XX/451 ).
Imam Adz Dzahabi juga
berkata, ” Tidak ada
seorangpun para kibar
masyayikh yang
riwayat hidup dan
karamahnya lebih
banyak kisah hikayat,
selain Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani, dan
banyak di antara
riwayat-riwayat itu
yang tidak benar
bahkan ada yang
mustahil terjadi “.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al
Madkhali berkata dalam
kitabnya, Al Haddul
Fashil,hal.136, ” Aku
telah mendapatkan
aqidahnya ( Syeikh
Abdul Qadir Al Jaelani )
di dalam kitabnya yang
bernama Al Ghunyah.
(Lihat kitab Al-Ghunyah
I/83-94) Maka aku
mengetahui bahwa dia
sebagai seorang Salafi.
Ia menetapkan nama-
nama dan sifat-sifat
Allah dan aqidah-aqidah
lainnya di atas manhaj
Salaf. Ia juga
membantah kelompok-
kelompok Syi ’ah,
Rafidhah, Jahmiyyah,
Jabariyyah, Salimiyah,
dan kelompok lainnya
dengan manhaj
Salaf. ” (At Tashawwuf
Fii Mizanil Bahtsi Wat
Tahqiq, hal. 509, karya
Syeikh Abdul Qadir bin
Habibullah As Sindi,
Penerbit Darul Manar,
Cet. II, 8 Dzulqa ’dah
1415 H / 8 April 1995 M.)
Awal
Kemasyhuran
Al-Jaba’i berkata bahwa
Syeikh Abdul Qadir
pernah berkata
kepadanya, “Tidur dan
bangunku sudah diatur.
Pada suatu saat dalam
dadaku timbul keinginan
yang kuat untuk
berbicara. Begitu
kuatnya sampai aku
merasa tercekik jika
tidak berbicara. Dan
ketika berbicara, aku
tidak dapat
menghentikannya. Pada
saat itu ada dua atau
tiga orang yang
mendengarkan
perkataanku. Kemudian
mereka mengabarkan
apa yang aku ucapkan
kepada orang-orang,
dan merekapun
berduyun-duyun
mendatangiku di masjid
Bab Al-Halbah. Karena
tidak memungkinkan
lagi, aku dipindahkan ke
tengah kota dan
dikelilingi dengan lampu.
Orang-orang tetap
datang di malam hari
dengan membawa lilin
dan obor hingga
memenuhi tempat
tersebut. Kemudian, aku
dibawa ke luar kota dan
ditempatkan di sebuah
mushalla. Namun,
orang-orang tetap
datang kepadaku,
dengan mengendarai
kuda, unta bahkan
keledai dan menempati
tempat di sekelilingku.
Saat itu hadir sekitar 70
orang para wali
radhiallahu ‘anhum]].
Kemudian, Syeikh Abdul
Qadir melanjutkan, “Aku
melihat Rasulallah SAW
sebelum dzuhur, beliau
berkata kepadaku,
“anakku, mengapa
engkau tidak
berbicara?”. Aku
menjawab, “Ayahku,
bagaimana aku yang
non arab ini berbicara di
depan orang-orang fasih
dari Baghdad?”. Ia
berkata, “buka
mulutmu”. Lalu, beliau
meniup 7 kali ke dalam
mulutku kemudian
berkata, ”bicaralah dan
ajak mereka ke jalan
Allah dengan hikmah
dan peringatan yang
baik ”. Setelah itu, aku
salat dzuhur dan duduk
serta mendapati jumlah
yang sangat luar biasa
banyaknya sehingga
membuatku gemetar.
Kemudian aku melihat
Ali r.a. datang dan
berkata, “buka
mulutmu”. Ia lalu
meniup 6 kali ke dalam
mulutku dan ketika aku
bertanya kepadanya
mengapa beliau tidak
meniup 7 kali seperti
yang dilakukan
Rasulallah SAW, beliau
menjawab bahwa beliau
melakukan itu karena
rasa hormat beliau
kepada Rasulallah SAW.
Kemudian, aku berkata,
“Pikiran, sang penyelam
yang mencari mutiara
ma’rifah dengan
menyelami laut hati,
mencampakkannya ke
pantai dada , dilelang
oleh lidah sang calo,
kemudian dibeli dengan
permata ketaatan
dalam rumah yang
diizinkan Allah untuk
diangkat ”. Ia kemudian
menyitir, “Dan untuk
wanita seperti Laila,
seorang pria dapat
membunuh dirinya dan
menjadikan maut dan
siksaan sebagai
sesuatu yang manis.”
Dalam beberapa
manuskrip didapatkan
bahwa Syeikh Abdul
Qadir berkata, ”Sebuah
suara berkata kepadaku
saat aku berada di
pengasingan diri,
“kembali ke Baghdad
dan ceramahilah orang-
orang”. Aku pun ke
Baghdad dan
menemukan para
penduduknya dalam
kondisi yang tidak aku
sukai dan karena itulah
aku tidak jadi mengikuti
mereka”.
“Sesungguhnya” kata
suara tersebut, “Mereka
akan mendapatkan
manfaat dari
keberadaan dirimu”.
“Apa hubungan mereka
dengan keselamatan
agamaku/keyakinanku”
tanyaku. “Kembali (ke
Baghdad) dan engkau
akan mendapatkan
keselamatan
agamamu” jawab suara
itu.
Aku pun membuat 70
perjanjian dengan Allah.
Di antaranya adalah
tidak ada seorang pun
yang menentangku dan
tidak ada seorang
muridku yang meninggal
kecuali dalam keadaan
bertaubat. Setelah itu,
aku kembali ke Baghdad
dan mulai berceramah.
Beberapa
Kejadian
Penting
Suatu ketika, saat aku
berceramah aku melihat
sebuah cahaya terang
benderang mendatangi
aku. “Apa ini dan ada
apa?” tanyaku.
“Rasulallah SAW akan
datang menemuimu
untuk memberikan
selamat” jawab sebuah
suara. Sinar tersebut
semakin membesar dan
aku mulai masuk dalam
kondisi spiritual yang
membuatku setengah
sadar. Lalu, aku melihat
Rasulallah SAW di depan
mimbar, mengambang
di udara dan
memanggilku, “Wahai
Abdul Qadir”. Begitu
gembiranya aku dengan
kedatangan Rasulullah
SAW, aku melangkah
naik ke udara
menghampirinya. Ia
meniup ke dalam
mulutku 7 kali.
Kemudian Ali datang
dan meniup ke dalam
mulutku 3 kali.
“Mengapa engkau tidak
melakukan seperti yang
dilakukan Rasulallah
SAW?” tanyaku
kepadanya. “Sebagai
rasa hormatku kepada
Rasalullah SAW” jawab
beliau.
Rasulallah SAW
kemudian memakaikan
jubah kehormatan
kepadaku. “apa ini?”
tanyaku. “Ini” jawab
Rasulallah, “adalah jubah
kewalianmu dan
dikhususkan kepada
orang-orang yang
mendapat derajad Qutb
dalam jenjang
kewalian”. Setelah itu,
aku pun tercerahkan
dan mulai berceramah.
Saat Nabi Khidir As.
Datang hendak
mengujiku dengan ujian
yang diberikan kepada
para wali sebelumku,
Allah membukakan
rahasianya dan apa
yang akan dikatakannya
kepadaku. Aku berkata
kepadanya, ”Wahai
Khidir, apabila engkau
berkata kepadaku,
“Engkau tidak akan
sabar kepadaku”, aku
akan berkata
kepadamu, “Engkau
tidak akan sabar
kepadaku”. “Wahai
Khidir, Engkau termasuk
golongan Israel
sedangkan aku
termasuk golongan
Muhammad, inilah aku
dan engkau. Aku dan
engkau seperti sebuah
bola dan lapangan, yang
ini Muhammad dan yang
ini ar Rahman, ini kuda
berpelana, busur
terentang dan pedang
terhunus.”
Al-Khattab pelayan
Syeikh Abdul Qadir
meriwayatkan bahwa
suatu hari ketika beliau
sedang berceramah
tiba-tiba beliau berjalan
naik ke udara dan
berkata, “Hai orang
Israel, dengarkan apa
yang dikatakan oleh
kaum Muhammad ” lalu
kembali ke tempatnya.
Saat ditanya mengenai
hal tersebut beliau
menjawab, ”Tadi Abu
Abbas Al-Khidir As
lewat dan aku pun
berbicara kepadanya
seperti yang kalian
dengar tadi dan ia
berhenti ”.
Hubungan Guru
dan Murid
Syeikh Abdul Qadir
berkata, ”Seorang
Syeikh tidak dapat
dikatakan mencapai
puncak spiritual kecuali
apabila 12 karakter
berikut ini telah
mendarah daging dalam
dirinya.
1. Dua karakter dari
Allah yaitu dia
menjadi seorang
yang sattar
(menutup aib) dan
ghaffar (pemaaf).
2. Dua karakter dari
Rasulullah SAW yaitu
penyayang dan
lembut.
3. Dua karakter dari
Abu Bakar yaitu jujur
dan dapat dipercaya.
4. Dua karakter dari
Umar yaitu amar
ma’ruf nahi munkar.
5. Dua karakter dari
Utsman yaitu
dermawan dan
bangun ( tahajjud)
pada waktu orang
lain sedang tidur.
6. Dua karakter dari Ali
yaitu alim ( cerdas/
intelek) dan
pemberani.
Masih berkenaan
dengan pembicaraan di
atas dalam bait syair
yang dinisbatkan
kepadanya dikatakan:
Bila lima perkara tidak
terdapat dalam diri
seorang syeikh maka ia
adalah Dajjal yang
mengajak kepada
kesesatan.
Dia harus sangat
mengetahui hukum-
hukum syariat dzahir,
mencari ilmu hakikah
dari sumbernya, hormat
dan ramah kepada
tamu, lemah lembut
kepada si miskin,
mengawasi para
muridnya sedang ia
selalu merasa diawasi
oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga
menyatakan bahwa
Syeikh al Junaid
mengajarkan standar al
Quran dan Sunnah
kepada kita untuk
menilai seorang syeikh.
Apabila ia tidak hafal al
Quran, tidak menulis
dan menghafal Hadits,
dia tidak pantas untuk
diikuti.
Ali ra. bertanya kepada
Rasulallah SAW, “Wahai
Rasulullah, jalan
manakah yang terdekat
untuk sampai kepada
Allah, paling mudah bagi
hambanya dan paling
afdhal di sisi-Nya.
Rasulallah berkata, “Ali,
hendaknya jangan
putus berzikir
(mengingat) kepada
Allah dalam khalwat
(kontemplasinya)”.
Kemudian, Ali ra.
kembali berkata, “Hanya
demikiankah fadhilah
zikir, sedangkan semua
orang berzikir”.
Rasulullah berkata,
“Tidak hanya itu wahai
Ali, kiamat tidak akan
terjadi di muka bumi ini
selama masih ada orang
yang mengucapkan
‘Allah’, ‘Allah’.
“Bagaimana aku
berzikir?” tanya Ali.
Rasulallah bersabda,
“Dengarkan apa yang
aku ucapkan. Aku akan
mengucapkannya
sebanyak tiga kali dan
aku akan
mendengarkan engkau
mengulanginya
sebanyak tiga kali pula”.
Lalu, Rasulallah berkata,
“Laa Ilaaha Illallah”
sebanyak tiga kali
dengan mata terpejam
dan suara keras. Ucapan
tersebut di ulang oleh
Ali dengan cara yang
sama seperti yang
Rasulullah lakukan. Inilah
asal talqin kalimat Laa
Ilaaha Illallah. Semoga
Allah memberikan
taufiknya kepada kita
dengan kalimat
tersebut.
Syeikh Abdul Qadir
berkata, ”Kalimat tauhid
akan sulit hadir pada
seorang individu yang
belum di talqin dengan
zikir bersilsilah kepada
Rasullullah oleh
mursyidnya saat
menghadapi sakaratul
maut ”.
Karena itulah Syeikh
Abdul Qadir selalu
mengulang-ulang syair
yang berbunyi: Wahai
yang enak diulang dan
diucapkan (kalimat
tauhid) jangan engkau
lupakan aku saat
perpisahan (maut).
Pada tahun 521 H/1127
M, dia mengajar dan
berfatwa dalam semua
madzhab pada
masyarakat sampai
dikenal masyarakat
luas. Selama 25 tahun
Syeikh Abdul Qadir
menghabiskan
waktunya sebagai
pengembara sufi di
Padang Pasir Iraq dan
akhirnya dikenal oleh
dunia sebagai tokoh sufi
besar dunia Islam. Selain
itu dia memimpin
madrasah dan ribath di
Baghdad yang didirikan
sejak 521 H sampai
wafatnya di tahun 561
H. Madrasah itu tetap
bertahan dengan
dipimpin anaknya Abdul
Wahab (552-593
H/1151-1196 M),
diteruskan anaknya
Abdul Salam (611
H/1214 M). Juga dipimpin
anak kedua Syeikh
Abdul Qadir, Abdul
Razaq (528-603
H/1134-1206 M), sampai
hancurnya Baghdad
pada tahun 656 H/1258
M.
Syeikh Abdul Qadir juga
dikenal sebagai pendiri
sekaligus penyebar
salah satu tarekat
terbesar didunia
bernama Tarekat
Qodiriyah.
Ia wafat pada hari
Sabtu malam, setelah
magrib, pada tanggal 9
Rabiul akhir di daerah
Babul Azajwafat di
Baghdad pada 561
H/1166 M.

KISAH SUFI"Syekh Siti Jenar"

Syekh Siti Jenar (juga
dikenal dalam banyak
nama lain, antara lain
Sitibrit, Lemahbang,
dan Lemah Abang)
adalah seorang tokoh
yang dianggap Sufi dan
juga salah satu
penyebar agama Islam
di Pulau Jawa. Tidak ada
yang mengetahui
secara pasti asal-
usulnya. Di masyarakat
terdapat banyak varian
cerita mengenai asal-
usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam
menganggapnya sesat
karena ajarannya yang
terkenal, yaitu
Manunggaling Kawula
Gusti. Akan tetapi
sebagian yang lain
menganggap bahwa
Syekh Siti Jenar adalah
intelektual yang sudah
mendapatkan esensi
Islam itu sendiri. Ajaran
– ajarannya tertuang
dalam pupuh, yaitu
karya sastra yang
dibuatnya. Meskipun
demikian, ajaran yang
sangat mulia dari Syekh
Siti Jenar adalah budi
pekerti.
Syekh Siti Jenar
mengembangkan ajaran
cara hidup sufi yang
dinilai bertentangan
dengan ajaran
Walisongo.
Pertentangan praktek
sufi Syekh Siti Jenar
dengan Walisongo
terletak pada
penekanan aspek
formal ketentuan
syariah yang dilakukan
oleh Walisongo.
Konsep dan
ajaran
Ajaran Syekh Siti Jenar
yang paling
kontroversial terkait
dengan konsepnya
tentang hidup dan mati,
Tuhan dan kebebasan,
serta tempat
berlakunya syariat
tersebut. Syekh Siti
Jenar memandang
bahwa kehidupan
manusia di dunia ini
disebut sebagai
kematian. Sebaliknya,
yaitu apa yang disebut
umum sebagai
kematian justru disebut
sebagai awal dari
kehidupan yang hakiki
dan abadi.
Konsekuensinya, ia
tidak dapat dikenai
hukum yang bersifat
keduniawian (hukum
negara dan lainnnya),
tidak termasuk
didalamnya hukum
syariat peribadatan
sebagaimana ketentuan
syariah. Dan menurut
ulama pada masa itu
yang memahami inti
ajaran Siti Jenar bahwa
manusia di dunia ini
tidak harus memenuhi
rukun Islam yang lima,
yaitu: syahadat, salat,
puasa, zakat dan haji.
Baginya, syariah itu baru
berlaku sesudah
manusia menjalani
kehidupan paska
kematian. Syekh Siti
Jenar juga berpendapat
bahwa Allah itu ada
dalam dirinya, yaitu di
dalam budi. Pemahaman
inilah yang
dipropagandakan oleh
para ulama pada masa
itu. Mirip dengan konsep
Al-Hallaj (tokoh sufi
Islam yang dihukum
mati pada awal sejarah
perkembangan Islam
sekitar abad ke-9
Masehi) tentang Hulul
yang berkaitan dengan
kesamaan sifat
manusia dan Tuhan.
Dimana Pemahaman
ketauhidan harus
dilewati melalui 4
tahapan ; 1. Syariat
(dengan menjalankan
hukum-hukum agama
spt salat, zakat dll); 2.
Tarekat, dengan
melakukan amalan-
amalan spt wirid, dzikir
dalam waktu dan
hitungan tertentu; 3.
Hakekat, dimana
hakekat dari manusia
dan kesejatian hidup
akan ditemukan; dan 4.
Ma’rifat, kecintaan
kepada Allah dengan
makna seluas-luasnya.
Bukan berarti bahwa
setelah memasuki
tahapan-tahapan
tersebut maka tahapan
dibawahnya ditiadakan.
Pemahaman inilah yang
kurang bisa dimengerti
oleh para ulama pada
masa itu tentang ilmu
tasawuf yang
disampaikan oleh Syekh
Siti Jenar. Ilmu yang
baru bisa dipahami
setelah melewati
ratusan tahun pasca
wafatnya sang Syekh.
Para ulama
mengkhawatirkan
adanya
kesalahpahaman dalam
menerima ajaran yang
disampaikan oleh Syekh
Siti Jenar kepada
masyarakat awam
dimana pada masa itu
ajaran Islam yang harus
disampaikan adalah
pada tingkatan ‘syariat’.
Sedangkan ajaran Siti
Jenar sudah memasuki
tahap ‘hakekat’ dan
bahkan ‘ma’rifat’kepada
Allah (kecintaan dan
pengetahuan yang
mendalam kepada
ALLAH). Oleh karenanya,
ajaran yang
disampaikan oleh Siti
Jenar hanya dapat
dibendung dengan kata
‘SESAT’.
Dalam pupuhnya, Syekh
Siti Jenar merasa malu
apabila harus berdebat
masalah agama.
Alasannya sederhana,
yaitu dalam agama
apapun, setiap pemeluk
sebenarnya
menyembah zat Yang
Maha Kuasa. Hanya saja
masing – masing
menyembah dengan
menyebut nama yang
berbeda – beda dan
menjalankan ajaran
dengan cara yang belum
tentu sama. Oleh
karena itu, masing –
masing pemeluk tidak
perlu saling berdebat
untuk mendapat
pengakuan bahwa
agamanya yang paling
benar.
Syekh Siti Jenar juga
mengajarkan agar
seseorang dapat lebih
mengutamakan prinsip
ikhlas dalam
menjalankan ibadah.
Orang yang beribadah
dengan mengharapkan
surga atau pahala
berarti belum bisa
disebut ikhlas.
Manunggaling Kawula
Gusti
Dalam ajarannya ini,
pendukungnya
berpendapat bahwa
Syekh Siti Jenar tidak
pernah menyebut
dirinya sebagai Tuhan.
Manunggaling Kawula
Gusti dianggap bukan
berarti bercampurnya
Tuhan dengan
Makhluknya, melainkan
bahwa Sang Pencipta
adalah tempat kembali
semua makhluk. Dan
dengan kembali kepada
Tuhannya, manusia
telah menjadi bersatu
dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya,
‘Manunggaling Kawula
Gusti’ adalah bahwa di
dalam diri manusia
terdapat ruh yang
berasal dari ruh Tuhan
sesuai dengan ayat Al
Qur’an yang
menerangkan tentang
penciptaan manusia
(“Ketika Tuhanmu
berfirman kepada
malaikat:
“Sesungguhnya Aku
akan menciptakan
manusia dari tanah.
Maka apabila telah
Kusempurnakan
kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya
roh Ku; maka hendaklah
kamu tersungkur
dengan bersujud
kepadanya (Shaad;
71-72)”)>. Dengan
demikian ruh manusia
akan menyatu dengan
ruh Tuhan dikala
penyembahan terhadap
Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran
ayat Al Qur’an dari para
murid Syekh Siti inilah
yang menimbulkan
polemik bahwa di dalam
tubuh manusia
bersemayam ruh
Tuhan, yaitu polemik
paham ‘Manunggaling
Kawula Gusti’.
Pengertian
Zadhab
Dalam kondisi manusia
modern seperti saat ini
sering temui manusia
yang mengalami hal ini
terutama dalam agama
Islam yang sering
disebut zadhab atau
kegilaan berlebihan
terhadap Illa yang maha
Agung atau Allah.
Mereka belajar tentang
bagaimana Allah
bekerja, sehingga ketika
keinginannya sudah
lebur terhadap
kehendak Allah, maka
yang ada dalam
pikirannya hanya Allah,
Allah, Allah dan Allah….
disekelilingnya tidak
tampak manusia lain
tapi hanya Allah yang
berkehendak, Setiap
Kejadian adalah maksud
Allah terhadap Hamba
ini…. dan inilah yang
dibahayakan karena
apabila tidak ada GURU
yang Mursyid yang
berpedoman pada Al
Quran dan Hadits maka
hamba ini akan keluar
dari semua aturan yang
telah ditetapkan Allah
untuk manusia.Karena
hamba ini akan
gampang terpengaruh
syaitan, semakin tinggi
tingkat keimanannya
maka semakin tinggi
juga Syaitan
menjerumuskannya.Seperti
contohnya Lia Eden dll…
mereka adalah hamba
yang ingin dekat dengan
Allah tanpa pembimbing
yang telah melewati
masa ini, karena apabila
telah melewati masa ini
maka hamba tersebut
harus turun agar bisa
mengajarkan yang HAK
kepada manusia lain.
Seperti juga Syekh Siti
Jenar yang kematiannya
menjadi
kontroversi.Dalam
masyarakat jawa
kematian ini disebut
“MUKSO” ruh beserta
jasadnya diangkat Allah.
Hamamayu Hayuning
Bawana
Prinsip ini berarti
memakmurkan bumi. Ini
mirip dengan pesan
utama Islam, yaitu
rahmatan lil alamin.
Seorang dianggap
muslim, salah satunya
apabila dia bisa
memberikan manfaat
bagi lingkungannya dan
bukannya menciptakan
kerusakan di bumi.
Kontroversi
Kontroversi yang lebih
hebat terjadi di sekitar
kematian Syekh Siti
Jenar. Ajarannya yang
amat kontroversial itu
telah membuat gelisah
para pejabat kerajaan
Demak Bintoro. Di sisi
kekuasaan, Kerajaan
Demak khawatir ajaran
ini akan berujung pada
pemberontakan
mengingat salah satu
murid Syekh Siti Jenar,
Ki Ageng Pengging atau
Ki Kebokenanga adalah
keturunan elite
Majapahit (sama seperti
Raden Patah) dan
mengakibatkan konflik
di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam,
Walisongo yang
menopang kekuasaan
Demak Bintoro,
khawatir ajaran ini akan
terus berkembang
sehingga menyebarkan
kesesatan di kalangan
umat. Kegelisahan ini
membuat mereka
merencanakan satu
tindakan bagi Syekh Siti
Jenar yaitu harus
segera menghadap
Demak Bintoro.
Pengiriman utusan
Syekh Dumbo dan
Pangeran Bayat
ternyata tak cukup
untuk dapat membuat
Siti Jenar memenuhi
panggilan Sri Narendra
Raja Demak Bintoro
untuk menghadap ke
Kerajaan Demak. Hingga
konon akhirnya para
Walisongo sendiri yang
akhirnya datang ke
Desa Krendhasawa di
mana perguruan Siti
Jenar berada.[rujukan?]
Para Wali dan pihak
kerajaan sepakat untuk
menjatuhkan hukuman
mati bagi Syekh Siti
Jenar dengan tuduhan
telah membangkang
kepada raja. Maka
berangkatlah lima wali
yang diusulkan oleh
Syekh Maulana Maghribi
ke Desa Krendhasawa.
Kelima wali itu adalah
Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Pangeran
Modang, Sunan Kudus,
dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana,
terjadi perdebatan dan
adu ilmu antara kelima
wali tersebut dengan
Siti Jenar. Menurut Siti
Jenar, kelima wali
tersebut tidak usah
repot-repot ingin
membunuh Siti Jenar.
Karena beliau dapat
meminum tirtamarta
(air kehidupan) sendiri.
Ia dapat menjelang
kehidupan yang hakiki
jika memang ia dan
budinya
menghendaki.[rujukan?]
Tak lama, terbujurlah
jenazah Siti Jenar di
hadapan kelima wali.
Ketika hal ini diketahui
oleh murid-muridnya,
serentak keempat
muridnya yang benar-
benar pandai yaitu Ki
Bisono, Ki Donoboyo, Ki
Chantulo dan Ki
Pringgoboyo pun
mengakhiri “kematian”-
nya dengan cara yang
misterius seperti yang
dilakukan oleh gurunya
di hadapan para
wali.[rujukan?]
Kisah pada saat
pasca kematian
Terdapat kisah yang
menyebutkan bahwa
ketika jenazah Siti Jenar
disemayamkan di Masjid
Demak, menjelang salat
Isya, semerbak beribu
bunga dan cahaya kilau
kemilau memancar dari
jenazah Siti Jenar.
Jenazah Siti Jenar
sendiri dikuburkan di
bawah Masjid Demak
oleh para wali. Pendapat
lain mengatakan, ia
dimakamkan di Masjid
Mantingan, Jepara,
dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar
kematian Syekh Siti
Jenar, banyak muridnya
yang mengikuti jejak
gurunya untuk menuju
kehidupan yang hakiki.
Di antaranya yang
terceritakan adalah Kiai
Lonthang dari Semarang
Ki Kebo Kenanga dan Ki
Ageng Tingkir.

KISAH SUFI"Syekh Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Ba’alawi"

Syekh Sayyid
Shohibul Faroji
Azmatkhan Ba’alawi
adalah tokoh sufi yang
berasal dari Indonesia,
di abad ke-20 Masehi.
Dia adalah Mursyid
Akbar dari 15 Tarekat,
yaitu Tarekat
‘Alawiyyah, Tarekat
Qodiriyah, Tarekat
Naqsyabandiyah,
Tarekat Syadziliyah,
Tarekat Sanusiyyah,
Tarekat Maulawiyyah,
Tarekat Nur
Muhammadiyyah,
Tarekat Khidiriyyah,
Tarekat Ahadiyyah,
Tarekat
Suhrawardiyyah,
Tarekat Kubrawiyyah,
Tarekat Khalwatiyah,
Tarekat Chistiyyah,
Tarekat Ni’matullahi dan
Tarekat Rifa’iah.
Nama selengkapnya
adalah Syekh Shohibul
Faroji Azmatkhan
Ba’alawi Al-Husaini bin
Sayyid Muhammad
Misbah bin Sayyid
Bahruddin bin Sayyid
Abdur Razzaq bin Sayyid
Musthafa bin Sayyid
Mujtaba bin Sayyid
Makkiy bin Sayyid
Sulaiman bin Sayyid
Hasan bin Sayyid Abdul
Wahid bin Sayyid Yusuf
bin Sayyid Ahmad
Baidhawi bin Sayyid
Shalih bin Sayyid Amir
Hasan bin Sayyid Ja’far
Shadiq Sunan Kudus bin
Sayyid Utsman Haji
Sunan Ngudung bin
Sayyid Fadhal Ali
Murtadha bin Sayyid
Ibrahim Zainuddin Al-
Akbar bin Sayyid
Jamaluddin Husain bin
Sayyid Ahmad Jalaluddin
bin Sayyid Abdullah bin
Sayyid Abdul Malik
Azmatkhan bin Sayyid
‘Alwi Ammil Faqih bin
Sayyid Muhammad
Shahib Mirbath bin
Sayyid Ali Khali’ Qasam
bin Sayyid Alwi bin
Sayyid Muhammad bin
Sayyid Alwi bin Sayyid
Ubaidillah bin Imam
Ahmad Al-Muhajir bin
Imam Isa Al-Muhajir bin
Imam Muhammad An-
Naqib bin Imam Ali
Al-‘Uraidhi bin Imam
Ja’far Shadiq bin Imam
Muhammad Al-Baqir bin
Imam Ali Zainal Abidin
bin Imam Al-Husain bin
Imam Ali bin Abi Thalib
wa Syarifah Fathimah
Az-Zahra’ binti Nabi
Muhammad.
Gelar Azmatkhan
diberikan karena ia
keturunan dari Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan,
yaitu seorang Sayyid
yang lahir di Tarim,
Hadramaut dan
kemudian menjadi Raja
di India. Sayyid Abdul
Malik Azmatkhan adalah
leluhur Walisongo.

KISAH SUFI"Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al- Bakri"

Jalaluddin Rumi
Maulana Jalaluddin
Rumi Muhammad bin
Hasin al Khattabi al-
Bakri (Jalaluddin
Rumi) atau sering pula
disebut dengan nama
Rumi adalah seorang
penyair sufi yang lahir di
Balkh (sekarang
Afganistan) pada
tanggal 6 Rabiul Awwal
tahun 604 Hijriah, atau
tanggal 30 September
1207 Masehi. Ayahnya
masih keturunan Abu
Bakar, bernama
Bahauddin Walad.
Sedang ibunya berasal
dari keluarga kerajaan
Khwarazm. Ayah Rumi
seorang cendekia yang
saleh, mistikus yang
berpandangan ke depan,
seorang guru yang
terkenal di Balkh. Saat
Rumi berusia 3 tahun
karena adanya bentrok
di kerajaan maka
keluarganya
meninggalkan Balkh
menuju Khorasan. Dari
sana Rumi dibawa
pindah ke Nishapur,
tempat kelahiran
penyair dan alhi
matematika Omar
Khayyam. Di kota ini
Rumi bertemu dengan
Attar yang meramalkan
si bocah pengungsi ini
kelak akan masyhur
yang akan menyalakan
api gairah Ketuhanan.
Karya
Kumpulan puisi Rumi
yang terkenal bernama
al-Matsnawi al-Maknawi
konon adalah sebuah
revolusi terhadap Ilmu
Kalam yang kehilangan
semangat dan
kekuatannya. Isinya
juga mengeritik langkah
dan arahan filsafat
yang cenderung
melampaui batas,
mengebiri perasaan dan
mengkultuskan rasio.
Diakui, bahwa puisi Rumi
memiliki ciri khas
tersendiri dibandingkan
para sufi penyair
lainnya. Melalui puisi-
puisinya Rumi
menyampaikan bahwa
pemahaman atas dunia
hanya mungkin didapat
lewat cinta, bukan
semata-mata lewat
kerja fisik. Dalam
puisinya Rumi juga
menyampaikan bahwa
Tuhan, sebagai satu-
satunya tujuan, tidak
ada yang menyamai.
Ciri khas lain yang
membedakan puisi Rumi
dengan karya sufi
penyair lain adalah
seringnya ia memulai
puisinya dengan
menggunakan kisah-
kisah. Tapi hal ini bukan
dimaksud ia ingin
menulis puisi naratif.
Kisah-kisah ini
digunakan sebagai alat
pernyataan pikiran dan
ide.
Banyak dijumpai
berbagai kisah dalam
satu puisi Rumi yang
tampaknya berlainan
namun nyatanya
memiliki kesejajaran
makna simbolik.
Beberapa tokoh sejarah
yang ia tampilkan bukan
dalam maksud
kesejarahan, namun ia
menampilkannya
sebagai imaji-imaji
simbolik. Tokoh-tokoh
semisal Yusuf, Musa,
Yakub, Isa dan lain-lain
ia tampilkan sebagai
lambang dari keindahan
jiwa yang mencapai
ma’rifat. Dan memang
tokoh-tokoh tersebut
terkenal sebagai pribadi
yang diliputi oleh cinta
Ilahi.
Salah satu karyanya
yang paling terkenal
adalah :
jangan tanya apa
agamaku. aku bukan
yahudi. bukan zoroaster.
bukan pula islam. karena
aku tahu, begitu suatu
nama kusebut, kau
akan memberikan arti
yang lain daripada
makna yang hidup di
hatiku.

KISAH SUFI"Husain ibn Mansur Al- Hallaj"

Husain ibn Mansur al-
Hallaj atau biasa
disebut dengan Al-
Hallaj adalah salah
seorang ulama sufi
yang dilahirkan di kota
Thur yang bercorak
Arab di kawasan
Baidhah, Iran Tenggara,
pada tanggal 26 Maret
866M. Ia merupakan
seorang keturuna
Persia. Kakeknya adalah
seorang penganut
Zoroaster dan ayahnya
memeluk islam. Al-Hallaj
merupakan syekh sufi
abad ke-9 dan ke-10
yang paling terkenal. Ia
terkenal karena
berkata: “Akulah
Kebenaran”, ucapan
yang membuatnya
dieksekusi secara
brutal.
Bagi sebagian ulama
islam, kematian ini
dijustifikasi dengan
alasan bid’ah, sebab
Islam tidak menerima
pandangan bahwa
seorang manusia bisa
bersatu dengan Allah
dan karena Kebenaran
(Al-Haqq) adalah salah
satu nama Allah, maka
ini berarti bahwa al-
Hallaj menyatakan
ketuhanannya sendiri.
Kaum sufi sejaman
dengan al-Hallaj juga
terkejut oleh
pernyataannya, karena
mereka yakin bahwa
seorang sufi
semestinya tidak boleh
mengungkapkan
segenap pengalaman
batiniahnya kepada
orang lain. Mereka
berpandangan bahwa
al-Hallaj tidak mampu
menyembunyikan
berbagai misteri atau
rahasia Ilahi, dan
eksekusi atas dirinya
adalah akibat dari
kemurkaan Allah
lantaran ia telah
mengungkapkan
segenap kerahasiaan
tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak
punya banyak
pendukung di kalangan
kaum sufi sezamannya,
hampir semua syekh
sufi sesungguhnya
memuji dirinya dan
berbagai pelajaran yang
diajarkannya. Aththar,
dalam karyanya
Tadzkirah al-Awliya,
menyuguhkan kepada
kita banyak legenda
seputar al-Hallaj. Dalam
komentarnya, ia
menyatakan, “Saya
heran bahwa kita bisa
menerima semak
belukar terbakar (yakni,
mengacu pada
percakapan Allah
dengan nabi Musa as)
yang menyatakan Aku
adalah Allah, serta
meyakini bahwa kata-
kata itu adalah kata-
kata Allah, tapi kita
tidak bisa menerima
ucapan al-Hallaj, ‘Akulah
Kebenaran’, padahal itu
kata-kata Allah sendiri!”.
Di dalam syair epiknya,
Matsnawi, Rumi
mengatakan, “Kata-
kata ‘Akulah Kebenaran’
adalah pancaran cahaya
di bibir Manshur,
sementara Akulah
Tuhan yang berasal dari
Fir’aun adalah
kezaliman.”
Kehidupan Al-
Hallaj
Masa kanak-kanak
Al-Hallaj di lahirkan di
kota Thur yang
bercorak Arab di
kawasan Baidhah, Iran
tenggara, pada 866M.
Berbeda dengan
keyakinan umum, ia
bukan orang Arab,
melainkan keturunan
Persia. Kakeknya adalah
seorang penganut
Zoroaster dan ayahnya
memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih
kanak-kanak, ayahnya,
seorang penggaru
kapas (penggaru adalah
seorang yang bekerja
menyisir dan
memisahkan kapas dari
bijinya). Bepergian bolak-
balik antara Baidhah,
Wasith, sebuah kota
dekat Ahwaz dan
Tustar. Dipandang
sebagai pusat tekstil
pada masa itu, kota-
kota ini terletak di tapal
batas bagian barat Iran,
dekat dengan pusat-
pusat penting seperti
Bagdad, Bashrah, dan
Kufah. Pada masa itu,
orang-orang Arab
menguasai kawasan ini,
dan kepindahan
keluarganya berarti
mencabut, sampai
batas tertentu, akar
budaya al-Hallaj.
Masa remaja
Di usia sangat muda, ia
mulai mempelajari tata
bahasa Arab, membaca
Al-Qur’an dan tafsir
serta teologi. Ketika
berusia 16 tahun, ia
merampungkan
studinya, tapi
merasakan kebutuhan
untuk
menginternalisasikan
apa yang telah
dipelajarinya. Seorang
pamannya bercerita
kepadanya tentang Sahl
at-Tustari, seorang sufi
berani dan independen
yang menurut hemat
pamannya,
menyebarkan ruh hakiki
Islam. Sahl adalah
seorang sufi yang
mempunyai kedudukan
spiritual tinggi dan
terkenal karena tafsir
Al-Qur’annya. Ia
mengamalkan secara
ketat tradisi Nabi dan
praktek-praktek
kezuhudan keras
semisal puasa dan salat
sunnat sekitar empat
ratus rakaat sehari. Al-
Hallaj pindah ke Tustar
untuk berkhidmat dan
mengabdi kepada sufi
ini.
Dua tahun kemudian, al-
Hallaj tiba-tiba
meninggalkan Sahl dan
pindah ke Bashrah. Di
Bashrah, ia berjumpa
dengan Amr al-Makki
yang secara formal
mentahbiskannya
dalam tasawuf. Amr
adalah murid Junaid,
seorang sufi paling
berpengaruh saat itu.
Al-Hallaj bergaul dengn
Amr selama delapan
belas bulan. Akhirnya ia
meninggalkan Amr juga.
Ibadah haji
Pada tahun 892M, Al-
Hallaj memutuskan
untuk menunaikan
ibadah haji ke Mekah.
Kaum Muslimin
diwajibkan menunaikan
ibadah ini sekurang-
kurangnya sekali
selama hidup (bagi
mereka yang mampu).
Namun ibadah haji yang
dilakukan al-Hallaj
tidaklah biasa,
melainkan berlangsung
selama setahun penuh,
dan setiap hari
dihabiskannya dengan
puasa dari siang hingga
malam hari. Tujuan al-
Hallaj melakukan
praktek kezuhudan
keras seperti ini adalah
menyucikan hatinya
menundukkannya
kepada Kehendak Ilahi
sedemikian rupa agar
dirinya benar-benar
sepenuhnya diliputi oleh
Allah. Ia pulang dari
menunaikan ibadah haji
dengan membawa
pikiran-pikiran baru
tentang berbagai topik
seperti inspirasi Ilahi,
dan ia membahas
pikiran-pikiran ini dengan
para sufi lainnya.
Diantaranya adalah Amr
al-Makki dan juga Junaid.
Menjadi guru
Usai membahas
pemikirannya dengan
sufi-sufi lain, banyak
reaksi baik positif
maupun negatif yang
diterima oleh Al-Hajjaj
yang kemudian
memberinya keputusan
untuk kembali ke
Bashrah. Ketika al-Hallaj
kembali ke Bashrah, ia
memulai mengajar,
memberi kuliah, dan
menarik sejumlah besar
murid. Namun pikiran-
pikirannya bertentangan
dengan ayah
mertuanya. Walhasil,
hubungan merekapun
memburuk, dan ayah
mertuanya sama sekali
tidak mau mengakuinya.
Ia pun kembali ke
Tustar, bersama
dengan istri dan adik
iparnya, yang masih
setia kepadanya. Di
Tustar ia terus
mengajar dan meraih
keberhasilan gemilang.
Akan tetapi, Amr al-
Makki yang tidak bisa
melupakan konflik
mereka, mengirimkan
surat kepada orang-
orang terkemuka di
Ahwaz dengan
menuduh dan menjelek-
jelekkan nama al-Hallaj,
situasinya makin
memburuk sehingga al-
Hallaj memutuskan
untuk menjauhkan diri
dan tidak lagi bergaul
dengan kaum sufi.
Sebaliknya ia malah
terjun dalam kancah
hingar-bingar dan hiruk-
pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan
jubah sufi selama
beberapa tahun, tapi
tetap terus mencari
Tuhan. Pada 899M, ia
berangkat mengadakan
pengembaraan
apostolik pertamanya
ke batasan timur laut
negeri itu, kemudian
menuju selatan, dan
akhirnya kembali lagi ke
Ahwaz pada 902M.
Dalam perjalanannya, ia
berjumpa dengan guru-
guru spiritual dari
berbagai macam tradisi
di antaranya,
Zoroastrianisme dan
Manicheanisme. Ia juga
mengenal dan akrab
dengan berbagai
terminologi yang
mereka gunakan, yang
kemudian digunakannya
dalam karya-karyanya
belakangan. Ketika ia
tiba kembali di Tustar,
ia mulai lagi mengajar
dan memberikan kuliah.
Ia berceramah tentang
berbagai rahasia alam
semesta dan tentang
apa yang terbersit
dalam hati jamaahnya.
Akibatnya ia dijuluki
Hallaj al-Asrar (kata
Asrar bisa bermakna
rahasia atau kalbu. Jadi
al-Hallaj adalah sang
penggaru segenap
rahasia atau Kalbu,
karena Hallaj berarti
seorang penggaru) ia
menarik sejumlah besar
pengikut, namun kata-
katanya yang tidak
lazim didengar itu
membuat sejumlah
ulama tertentu takut,
dan ia pun dituduh
sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia
menunaikan ibadah haji
kedua. Kali ini ia
menunaikan ibadah haji
sebagai seorang guru
disertai empat ratus
pengikutnya. Sesudah
melakukan perjalanan
ini, ia memutuskan
meninggalkan Tustar
untuk selamanya dan
bermukim di Baghdad,
tempat tinggal
sejumlah sufi terkenal,
ia bersahabat dengan
dua diantaranya
mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia
memutuskan untuk
mengemban tugas
mengislamkan orang-
orang Turki dan orang-
orang kafir. Ia berlayar
menuju India selatan,
pergi keperbatasan
utara wilayah Islam,
dan kemudian kembali
ke Bagdad. Perjalanan ini
berlangsung selama
enam tahun dan
semakin membuatnya
terkenal di setiap
tempat yang
dikunjunginya. Jumlah
pengikutnya makin
bertambah.
Akulah Kebenaran!’ dan
hari-hari terakhir
Tahun 913M adalah titik
balik bagi karya
spiritualnya. Pada 912M
ia pergi menunaikan
ibadah haji untuk ketiga
kalinya dan terakhir kali,
yang berlangsung
selama dua tahun, dan
berakhir dengan
diraihnya kesadaran
tentang Kebenaran. Di
akhir 913M inilah ia
merasa bahwa hijab-
hijab ilusi telah
terangkat dan
tersingkap, yang
menyebabkan dirinya
bertatap muka dengan
sang Kebenaran (Al-
Haqq). Di saat inilah ia
mengucapkan, “Akulah
Kebenaran” (Ana Al-
Haqq) dalam keadaan
ekstase. Perjumpaan ini
membangkitkan dalam
dirinya keinginan dan
hasrat untuk
menyaksikan cinta Allah
pada menusia dengan
menjadi “hewan
kurban”. Ia rela dihukum
bukan hanya demi dosa-
dosa yang dilakukan
setiap muslim,
melainkan juga demi
dosa-dosa segenap
manusia.
Di jalan-jalan kota
Baghdad, dipasar, dan di
masjid-masjid, seruan
aneh pun terdengar:
“Wahai kaum muslimin,
bantulah aku!
Selamatkan aku dari
Allah! Wahai manusia,
Allah telah
menghalalkanmu untuk
menumpahkan darahku,
bunuhlah aku, kalian
semua bakal
memperoleh pahala, dan
aku akan datang
dengan suka rela. Aku
ingin si terkutuk ini
(menunjuk pada dirinya
sendiri) dibunuh.”
Kemudian, al-Hallaj
berpaling pada Allah
seraya berseru,
“Ampunilah mereka,
tapi hukumlah aku atas
dosa-dosa mereka.”
Tetapi, kata-kata ini
justru mengilhami
orang-orang untuk
menuntut adanya
perbaikan dalam
kehidupan dan
masyarakat mereka.
Lingkungan sosial dan
politik waktu itu
menimbulkan banyak
ketidakpuasan di
kalangan masyarakat.
Orang banyak menuntut
agar khalifah
menegakkan kewajiban
yang diembannya.
Sementara itu, yang lain
menuntut adanya
pembaruan dan
perubahan dalam
masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj
pun punya banyak
sahabat dan musuh di
dalam maupun di luar
istana khalifah. Para
pemimpin oposisi, yang
kebanyakan adalah
murid al-Hallaj,
memandangnya sebagai
Imam Mahdi atau juru
selamat. Para
pendukungnya di
kalangan pemerintahan
melindunginya
sedemikian rupa
sehingga ia bisa
membantu
mengadakan
pembaruan sosial.
Pada akhirnya,
keberpihakan al-Hallaj
berikut pandangan-
pandangannya tentang
agama, menyebabkan
dirinya berada dalam
posisi berseberangan
dengan kelas penguasa.
Pada 918M, ia diawasi,
dan pada 923M ia
ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara
selama hampir sembilan
tahun. Selama itu ia
terjebak dalam baku
sengketa antara
segenap sahabat dan
musuhnya. Serangkaian
pemberontakan dan
kudeta pun meletus di
Baghdad. Ia dan
sahabat-sahabatnya
disalahkan dan dituduh
sebagai penghasut.
Berbagai peristiwa ini
menimbulkan
pergulatan kekuasaan
yang keras di kalangan
istana khalifah.
Akhirnya, wazir
khalifah, musuh
bebuyutan al-Hallaj
berada di atas angin,
sebagai unjuk
kekuasaan atas musuh-
musuhnya ia
menjatuhkan hukuman
mati atas al-Hallaj dan
memerintahkan agar ia
dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj
disiksa di hadapan orang
banyak dan dihukum di
atas tiang gantungan
dengan kaki dan
tangannya terpotong.
Kepalanya dipenggal
sehari kemudian dan
sang wazir sendiri hadir
dalam peristiwa itu.
Sesudah kepalanya
terpenggal, tubuhnya
disiram minyak dan
dibakar. Debunya
kemudian dibawa ke
menara di tepi sungai
Tigris dan diterpa angin
serta hanyut di sungai
itu.